makalah sejarah fiqih masa Rasulullah dan khalifah
SEJARAH FIQH PADA MASA RASULULLAH,KHULAFAUR AR-RASIDHYN, DAN PARA TABIIN-TABIIN MAKALAH ...
http://graduas.blogspot.com/2013/10/makalah-sejarah-fiqih-masa-rasulullah.html
SEJARAH
FIQH PADA MASA RASULULLAH,KHULAFAUR AR-RASIDHYN, DAN PARA TABIIN-TABIIN
MAKALAH
DISUSUN
OLEH:
ROHMAD
NURHUDA (210213040)
FINA
SUCI ROMAWATI (210213227)
JURUSAN
SYARIAH
PROGRAM
STUDI MU’AMALAH
SEPTEMBER
2013
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Fiqih merupakan
salah satu cabang ilmu yang mempelajari tentang syariat atau hukum Islam yang
mengatur segala aspek kehidupan manusia.Aspek kehidupan yang dimaksud disini
meliputi kehidupan pribadi,kehidupan bermasyarakat juga kehidupan manusia dengan
sang pencipta alam yaitu Allah.Didalam fiqih terdapat aturan-aturan yang
mengatur seorang muslim untuk beribadah kepada Allah,misalnya seperti
sholat,puasa dan haji.Selain hubungan seorang muslim dengan Allah,fiqih juga
memberikan pengajaran tentang bagaimana hubungan seorang muslim satu dengan
muslim lainnya dalam bermasyarakat.Erat kaitanya fiqih dengan hubungan sesama
muslim,contoh paling kecilnya saja dimana kita akan membeli atau menjual suatu
barang.Disinilah fiqih berperan sehingga dalam proses jual beli tersebut dapat
saling menguntungkan entah itu bagi penjual atau pembelinya dan pada proses
jual beli tersebut pasti akan mendapatkan ridho Allah karena telah menjalankan
syariat-syariat yang ada .
Ilmu fiqih
merupakan suatu disiplin ilmu yang sangat penting bagi umat Islam ,karena
dengan mempelajari ilmu fiqih seorang muslim dapat mengetahui dasar hukum atas
penyimpulan sebuah hukum tentunya didasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah.Dasar
hukum inilah yang mengatur umat muslim dalam menjalankan kehidupannya yang
sesuai dengan syariat islam yang ada.
Tetapi jika
hanya mengetahui ilmunya saja tanpa tahu bagaimana sejarah fiqih akan
percuma.Fiqih memiliki sejarah yang sangat panjang mulai dari masa Nabi
Muhammad SAW sampai denagn sekarang ini.Jika kita hanya memahami apa yang
sekrang ini ada,maka akan hanya seperti
kita makan tanpa tahu apa saja bahan pembuat makanan tersebut,salah-salah kita
akan keracunan.Hampir mirip seperti itu,apabila kita hanya tau ilmunya sekarang
ini tanpa tahu bagaimana dan seperti apa sejarah perkembangan fiqih tersebut
maka kita kan masuk pada ajaran-ajaran fiqih yang mungkin dapat “menyesatkan”
kita.Tidak bisa kita pungkiri lagi pada saat ini banyak bermunculan ajaran baru
yang memiliki akidah dan fiqih yang berbeda.Dengan demikian jika kita
mengetahui sejarah dari fiqih dan bagaimana perkembangannya kita akan lebih
selektif dan bisa memilih mana ajaran yang benar.Dilatar belakangi masalah
tersebut penulis memutuskan untuk membuat makalah ini dengan tema sejarah
perkembangan fiqih khususnya sejarah fiqih pada nasa Nabi Muhammad,Khulafau
rasidhyn dan pada masa tabiin.
1.2 Rumusan
A .bagaimana perkembangan fiqih pada nasa Nabi
Muhammad?
B .bagaimana perkembangan fiqih pada masa Khulafau
rasidhyn ?
C . bagaimana perkembangan fiqih tabiin?
1.3 Tujuan
Setelah membaca makaalah ini diharapkan pembaca
dapat memahami sejarah perkembangan fiqih khususnya sejarah perkembangan fiqih
pada masa Nabi Muhammad,Khulafau rasidhyn dan pada masa para Tabiin.Dengan
pembaca memahami sejarah tersebut diharapkan pula pembaca dapat mengetahui
jaran fiqih dari masa Nabi Muhammad sampai dengan masa Tabiin-Tabiin.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1FIQH
PADA MASA NABI MUHAMMAD SAW (610-632M)
Masa Nabi Muhammad saw. Merupakan masa
awal pertumbuhan hukum Islam. Nabi Muhammad saw. membawa wahyu Allah secara
berangsur-angsur yang kemudian ditulis dalam suatu kumpulan wahyu yang disebut
Al-qur’an. Wahyu diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw. melalui
Malaikat Jibril selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, baik yang diturunkan di Makkah
ataupun di Madinah. Didalam Al-qu’an terdapat sejumlah ayat yang berkenaan
dengan persoalan hukum ibadah (salat, puasa, zakat, haji) dan muamalah
(perkawinan, warisan, wasiat, hibah, wakaf, dan sebagainnya) yang tersebar diberbagai
ayat dan surah dalam Al-qur’an.
Pada masa Nabi Muhammad saw. terdiri
dari 2 fase yang masing-masing mempunyai corak atau karakteristik tersendiri,
yaitu :
Ø Fase
Makkiyah
Fase
makkiyah ialah sejak Nabi Muhammad saw. masih menetap di Makkah selama 12 tahun
beberapa bulan, sejak beliau dilantik menjadi Rasul hingga hijrah ke Madinah.
Pada fase ini umat Islam keadaanya masih terisolir, masih sedikit kuantitasnya
dan kapasitasnya masih lemah, belum bisa membentuk komunitas umat yang
mempunyai lembaga pemerintah yang kuat. Oleh karena itu, perhatian Nabi
Muhammad saw. dicurahkan kepada aktivitas penyebaran dakwah dalam rangka
penanaman tauhid kepada Allah SWT dan meninggalkan praktek-praktek penyembahan
berhala dan patung-patung.[1] Fase Makah sendiri
memiliki beberapa ciri-ciri antara lain:[2]
a. Jumlahnya masih sangat sedikit.
b. Masih sangat lemah di bandingkan dengan kekuatan yang
dimiliki para penantang islam.
c. Dikucilkan oleh masyarakat penentang islam, misalnya kegiatan
ekonominya di blokade.
Ø Fase
Madaniyah
Fase
Madaniyah ialah sejak Nabi Muhammad saw. hijrah dari Makkah ke Madinah hingga
wafatnya pada tahun 11 H/632 M, yakni sekitar 10 tahun lamanya. Pada fase ini,
Islam sudah kuat, kuantitas umat Islam sudah banyak dan telah mempunyai tata
pemerintahan tersendiri sehingga media-media dakwah berlangsung dengan aman dan
damai. Keadaan seperti inilah yang mendorong perlu adanya tasyri’ (proses
perkembangan syariat) dan pembentukan perundang-undangan yang mengatur hubungan
antara individu dari suatu bangsa dengan bangsa lain, dan mengatur perhubungan
atau kontak komunikasi dan interaksi mereka dengan kalangan non-muslim, baik
dimasa damai ataupun dimasa perang. [3] Fase Madinah
mempunyai beberapa ciri-ciri antara lain:[4]
a. Islam tidak lagi
lemah karena jumlahnya banyak dan berkualitas.
b. Mengeliminasi
permusuhan dalam rangka mengesakan Allah.
c. Adanya ajakan untuk
mengamalkan syari’at Islam dalam rangka meperbaiki hidup
bermasyarakat.
d. Membentuk aturan
damai dan perang.
1.
Pemegang
Kekuasaan Tasyri’ Pada Masa Nabi Muhammad SAW
Kekuasaan Tasyri’ yakni pembentukan
perundang-undangan atau hukum pada
periode ini ada ditangan Nabi Muhammad
saw. sendiri. Tidak seorangpun dari umat Islam selain beliau dapat membentuk
atau mentapkan hukum. Nabi Muhammad saw. masih berada ditengah-tengah mereka
sebagai rujukandan acuan pokok sehingga setiap ada permasalahan dikembalikan
kepada beliau. Oleh karena itu, tidak seorangpun dari mereka (para sahabat)
berani berfatwa menurut hasil ijtihadnya atau memfonis terhadap suatu
perselisihan yang terjadi menurut hasil ijtihadnya sendiri. Bahkan para sahabat
kalau menghadapi berbagai permasalahan, terjadi perselihan, diserang sejumlah
pertanyaan atau permintaan fatwa, maka mereka (para sahabat) langsung
menyerahkan problematika tersebut kepada Nabi Muhammad saw. Selanjutnya beliau
member fatwa kepada mereka, menuntaskan perselisihan dan persengketa’an mereka,
dan menjawab pertanyaan mereka dengan menggunakan dasar satu atau beberapa ayat
Al-qur’an dan terkadang juga dengan menggunakan hasil ijtihad sendiri yang
dilandasi ilham dari Allah SWT, atau berdasarkan petunjuk akal dan daya analisis
sendiri.
Setiap ketetapan hukum yang bersumber
dari beliau itu merupakan tasyri’ bagi umat Islam dan menjadi undang-undang
yang wajib diikut, baik hukum itu berasal dari Allah SWT maupun dari ijtihad
beliau sendiri.[5]
2.
Sumber
Hukum Pada Masa Nabi Muhammad SAW
Pada periode Nabi Muhammad saw, hanya
ada 2 sumber hukum, yaitu :
wahyu ilahi (Al-qur’an) dan ijtihad Nabi
Muhammad saw. sendiri .
Ø Al-qur’an
Al-qur’an
adalah kitab suci yang diwahyukan kepada
Nabi Muhammad saw. yang mengandung petunjuk kebenaran bagi umat manusia. Kalau
terjadi suatu peristiwa yang memerlukan adanya ketetapan hukum karena terjadi
perselisihan, ada kejadian peristiwa, pertanyaan, permintaan fatwa, maka Allah
SWT menurunkan wahyu kepada Nabi Muhammad saw. beberapa ayat Al-qur’an yang
menerangkan tentang hukum-hukumnya. Kemudian beliau menyampaikan wahyu tersebut
kepada umat Islam. Dan wahyu inilah yang menjadi hukum atau undang-undang yang
wajib diikuti.[6]
Ketika terjadi sesuatu yang
menghendaki adanya pembentukan hukum dikarenakan suatu peristiwa, perselisihan,
pertanyaan, permintaan fatwa, maka Allah menurunkan wahyu kepada Rasulullah SAW
satu atau beberapa ayat al-quran yang menjelaskan hukum yang hendak
diketahuinya. Kemudian Rasulullah menyampaikan kepada umat Islam apa-apa yang sudah
diwahyukan kepada beliau itu, dan wahyu itu menjadi undang-undang yang wajib
diikuti.
Ø Ijtihad Nabi Muhammad saw (Sunnah)
Sunnah adalah sumber fiqih kedua
setelah al-Qur'an. Dalam terminologi muhaddisin, fuqaha dan ushuliyyin, sunnah
berarti setiap sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad, baik perkatan,
perbuatan dan ketentuan. Sebagaimana al-Quran, sunnah juga
tidak muncul dalam satu waktu, tetapi secara bertahap(periodik) mengikuti
fenomena umum dalam masyarakat, atau lebih tepat disebut mengikuti perkembangan
turunnya syariat. Oleh karena itu dalam banyak hal, kita akan melihat bahwa
sunnah bertujuan menerangkan, merinci, membatasi dan menafsirkan al-Qur'an.[7]
Ketika
muncul sesuatu yang menghendaki peraturan, sedang Allah tidak mewahyukan kepada
Rasulullah ayat al-Qur'an yang menunjukkan hukum yang dikehendakinya, maka
Rasulullah berijtihad untuk mengetahui ketentuan hukumnya.
Dan dengan
hasil ijtihad itulah yang dipergunakan beliau untuk memutusi hukum sesuatu
masalah, atau memberi fatwa hukum atau menjawab pertanyaan atau menjawab
permintaan fatwa hukum. Dan hukum yang terbit dari hasil ijtihad beliau itu
juga menjadi undang-undang yang wajib diikuti. Setiap hukum yang disyareatkan
pada periode Rasulullah SAW itu sumbernya adalah dari wahyu ilahi (al-Qur'an)
dan ijtihad Nabi (Sunnah)
2.2 FIQH PADA MASA KHULAFAUR AR-RASYIDIN (632-662 M)
Masa Khulafaur Ar-rasyidin ditandai
dengan wafatnya Nabi Muhammad saw.
Yaitu berhentinya diturunkan wahyu.
Kedudukan Nabi Muhammad saw. sebagai Nabi dan Rasul tidak dapat digantikan oleh
manusia lainnya termasuk sahabatnya. Namun tugas beliau sebagai pemimpin
masyarakat Islam dan kepala Negara disebut khalifah. Pejabat kekhalifahan yang
disebut Khulafaur Ar-rasyidin ini silih berganti selama 4 periode, yaitu Abu
Bakar Ash-Shidieq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Periode kekuasan Nabi Muhammad saw.
hanya meliputi semenanjung Arabia, tetapi periode Khaulafaur Ar-rasyidin
meliputi wilayah Arab dan non-Arab, sehinggal masalah yang muncul semakin
kompleks sementara ketetapan hukum yang rinci didalam Al-quran dan Al-hadist
terbatas jumlahnya. Oleh karena itu, Khulafaur Ar-rasyidinmenghadapi banyak
masalah yang tadinya tidak terdapat di masyarakat Arab. Misalnya masalah
pengairan, keuangan, kemiliteran, perkawinan, pajak, cara menetapkan hukum di
peradilan danlain-lain budaya hukum Dasmakus, Mesir, Irak, Iran, Maroko,
Samarkan, Andalusia, dan lain-lain.
Untuk
menjawab persoalan hukum yang baru muncul itu, para sahabat terlebih dahulu
merujuk kepada Al-qur’an dan Al-hadist. Namun bila para sahabat tidak menemukan
ketetapan hukum dari dua sumber yang dimaksud maka distulah para sahabat
menggunakan akal pikiran (ra’yu) yang dijiwai oleh ajaran Islam. Untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan baru para sahabat kembali kepada Alqur’an dan Sunnah Nabi.
Para sahabat banyak yang hafal al-Qur’an, kendati pernah timbul keresahan
ketika banyak yang gugur ketika menghadapi peperangan. Karenanya kembali kepada
al-Qur’an itu mudah. Hadits memang diriwayatkan dan dihafal. Tetapi nasib
hadits tidak sebagus al-Qur’an karena perhatian mereka lebih terpusat kepada
al-Qur’an. Disamping dihafal, al-Qur’an juga ditulis. Namun demikian, sumber
hukum Islam dimasa ini adalah al-Qur’an dan hadits. Berdasar kedua sumber hukum
itulah para kahlifah dan sahabat berijtihad dengan menggunakan akal pikiran.
Pada awal
masa sahabat ini , yaitu pada masa kholifah Abu Bakar dan masa kholifah Umar,
para sahabat dengan cara bersama-bersama menetapkan hukum terhadap sesuatu yang
tidak ada nashnya. Hukum yang di keluarkan oleh para sahabat dengan cara
bersama-sama ini di sebut sebagai ijma’ sahabat.
Kholifah
Umara pun berbuat demikian, yaitu apabila sulit baginya mendapatkan hukum dalam
al-qur’an dan as-sunnah, amka beliau memperhatikan apakah telah ada
keputusan-keputusan terhadap masal itu. Jika Abu Bakar mendapatkan suatu
keputusan hukum, maka Umar memutuskan dengan hukum itu, dan kalau tidak maka
beliau memanggil pemuka-pemuka kaum muslimin, apabila sepakat tentang hukum
tersebut, maka belau memeberikan keputusan dengan hukum yang telah di sepakati
tersebut.
BERBAGAI KEPUTUSAN HUKUM DI MASA KHULAFAUR AR- RASYIDIN
1.
Memerangi Orang yang
Tidak Mau Membayar Zakat
Ketika Abu Bakar menjadi khalifah
pertama sesudah meninggalnya Nabi
Muhammad saw. Dalam pelaksanaan
kekhalifahan yang dimaksud ia memerangi orang yang menolak membayar zakat. Umar
bin Khattab menegurnya dn berkata: “Saya pernah disuruh Rasullah untuk
memerangi orang sampai merka mengucapkan la
ilaha illallah. Kalau sudah mengucapkannya, Allah akan menjaga harta dan
darahnya, kecuali dengan “hak” nya. Semua urusan ditangan Tuhan.” Abu Bakar
menjawab, “ Demi Allah, sungguh saya akan memerangi siapa saja yang membedakan
shalat dan zakat. Sebab zakat termasuk hak nya atas harta.”
2.
Pemagian Harta Rampasan
Perang
Ketika para sahabat hendak membagi harta
rampaan perang mereka berbeda pendapat, apakah harta rampasan perang dibagi
sama rata atau antar orang Muhajirin dengan orang Ansar, atau tidak. Umar
berpendapat, “kami tidak menyamakan orang-orang yang meninggalkan kamung
halamandan harta merka untuk hijrah mengikuti Rasulullah, dengan orang yang
masuk Islam karena terpaksa.” Adapun Abu Bakar berpendapat, “ Mereka masuk
Islam bukan karena terpaksa, melainkan karena Allah dan pahalanyapun urusan
Allah. Dunia hanya sarana saja.” Abu Bakar membagi harta rampasan perang sama
rata antara kaum Mujahirin dan kaum Ansar. Kemudian ketika Umar menjadi
khalifah ke-2, ia membagi harta rampasan perang berdasarkan jerih payah masing
masing orang dalam perjuangan.
3.
Hukum Diyat Karena
Pengampunan Salah Seorang Wali
Dalam suatu hadist yang diriwayatkan oleh
Abu Hurairah, Nabi Muhammad
saw. bersabda ketika fathul Mekkah: “
Orang yang membunuh orang lain dengan sengaja maka mengikuti kemauan keluarga
atau wali si terbunuh, yaitu qishash atau denda karena dimaafkan. Dalam hadist
lain ketika Haji Wada’ Nabi menyuruh pilih korban dimksud, qishash atau denda
bagi pembunuh (pembunuhan disengaja).” Ini sesuai firman Allah dalam Surah
Al-Baqarah ayat 178 , yang artinya :
“Hai orang-orang beriman, ditetapkan atas kamu qishash dalam kasus pembunuhan sengaja; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, wanita dengan wanita. Barang siapa dimaafkan oleh saudaranya hendak mengikuti secara baik dan menunaikan permintaan secara baik pula. Itulah peringanan dan rahmat dari Tuhanmu…. “
“Hai orang-orang beriman, ditetapkan atas kamu qishash dalam kasus pembunuhan sengaja; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, wanita dengan wanita. Barang siapa dimaafkan oleh saudaranya hendak mengikuti secara baik dan menunaikan permintaan secara baik pula. Itulah peringanan dan rahmat dari Tuhanmu…. “
4.
Bagian Zakat bagi Orang
Muallaf
Di masa kekhalifahan
Umarbin Khattab bagi orang muallaf tidak diberikan pembagian zakat. Muallaf
adalah orang yang diambil simpatinya agar masuk Islam. Berdaarkan
A-lqur’an Surah At-Taubah ayat 60, orang
muallaf mendapat bagian zakat di masa Nabi Muhammad saw. Namun demikian, Umar
bin Khattab tidak member zakat bagi orang muallaf berdasrkan pertimbangan
bahwa zaman dahulu Islam mencari simpati dari orang-orang muallaf karena orang
Islam masih belum banyak. Namun, saat ini sudah banyak sehingga manakala mereka
menginginkan perang maka orang Islam pun siap melayaninya.
BAB
III
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
Dari
uraian di atas maka akan kita dapatkan beberapa point penting yang selanjutnya
akan menjadi kesimpulan dari makalah ini.Beberapa point tersebut adalah:
a) Pada masa nabi Muhammad SAW:
a.
perkembangan fiqih
dibagi menjadi dua faase,yaitu fase Makkiyah dan fase Madaniyah
b.
pemutusan suatu
hukum berada ditangan Nabi Muhammad SAW
c.
sumber hukum yang
dipakai oleh nabi Muhammad adalah Al-Qur’an dan Ijtihad nabi Muhammad sendiri
b) Pada masa Khulafaur Ar-Rasidhyn
a.
Pemutusan suatu
hukum didasarkan pada Al-Qur’an dan As-Sunah dan ijtihad para sahabat sendiri
b.
Dalam beristijhad
para sahabat meminta persetujuan dari sahabat-sahabat yang lain untuk
memutuskkan hukum pada suatu masalah
DAFTAR PUSTAKA
Mubarok,Jaih. Sejarah dan Perkembangan Hukum
Islam.Bandung: PT Remaja Rosdakarya,2000
Wahab Khallaf,Abdul.Sejarah Pembentukan dan
Perkembangan Hukum Islam.Jakarta:PT
RajaGrafindo Persada,2002
A Sirry,Mun’im Sejarah Fiqh Islam.Risalah Gusti, 1995
Syafira,eva
diakses di http://syarifation.blogspot.com/2011/04/hukum-islam-pada-masa-tabiin.html
pada 24 September 2013
[1] Abdul Wahab Khallaf, , Sejarah Pembentukan dan
Perkembangan Hukum Islam, (PT RajaGrafindo Persada: Jakarta,2002),
hal.8
[2] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum
Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,2000), hal.22
[3] Prof.
Dr. Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan
& Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Pesada,
2002), hlm. 9
[4] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum
Islam, (PT Remaja Rosdakarya: Bandung,2000), hal.23
[5] Prof.
Dr. Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan
& Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Pesada,
2002), hlm. 10
[6] Prof.
Dr. Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan
& Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Pesada,
2002), hlm. 13
[7] Mun’im A
Sirry, Sejarah Fiqh Islam, (Risalah
Gusti, 1995), hlm.27.
[9] Ibid