makalah tasawuf falsafi dan wihdatul wujud

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Tasawuf adalah salah satu cabang ilmu yang mempelajari tentaang pemurnian ibadah yang semata ha...


BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Tasawuf adalah salah satu cabang ilmu yang mempelajari tentaang pemurnian ibadah yang semata hanya untuk Allah.Dalam perkembaganya tasawuf terbagi menjadi beberapa aliran.Tiap-tipa aliran memiliki pengertian dan pemahaman tersendiri dalam merealisasikan arti dari tasawuf tersendiri.
Dari beberapa aliran tersebut, tsawuf falsasi adalah salah satu aliran yamg menarik untuk dipaparkan apa pengertian dari taawuf itu sendiri serta perkembangan dari tasawuf falsafi tersebut.Selain penengertian dan perkembangan tasaawuf falsaafi,tokoh-tokoh yang mempenggaruhi adanya asawuf falsafi juga perlu untuk diulas,selain agar kita tahu siapa sajakah yang mendalangi atau mempromotori lahirnya tasawuf falsafi,kita juga perlu mengetahui dasar apa yang para tokoh tersebut gunakan sehingga melahirkan aliran tasawuf falsaafi itu sendiri.
Didalam tasawuf falsafi, muncul suatu akidah yang menurut dua ulama besar yaitu Imam Ghozali dan Ibnu Taimiyah menyimpang.Ajaran tersebut adalah Wihdatul wujud atau biasanya sering disebut akidah Ittihad.Maka dari itu,sekiranya perlu kita untuk mengetahui bagaimana konsep yang diterapkan oleh akidah Ittihad sehingga kita memahami kenapa kedua ulama besar tersebut menolak akidah ittihad.
Didasari uraian diatas,penulis memutuskan untuk membuat makalah yang mengambil tema tasawuf falsasi dan wihdatul wujud.
1.2.Rumusan Masalah
a)      Apa pengertian tasawuf falsafi ?
b)      Siapakah tokoh-tokoh tasawuf falsafi ?
c)      Bagaimana konsep wihdatul al wujud?
1.3.Tujuan
Dengan dibuatnya makalah ini,diharapakan pembaca dapat memahami tentang pengertian serta tokoh tasawuf falsafi dan memahami konsep dari wihdatul al wujud.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Penegertian Tasawuf Falsafi
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional penggagasnya. Berbeda dengan tasawuf akhlawi, tasawuf falsafi menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi falsafi tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran yang telah mempengaruhi para tokohnya.
Menurut at-taftazani, tasawuf falsafi mulai muncul dengan jelas dalam khazanah islam sejak abad keenam hijriyah, meskipun para tokohnya baru dikenal seabad kemudian. Sejak tiu, tasawuf jenis ini tersu hidup dan berkembang, terutamadi kalangan para sufi yang juga filosof, sampai menjelang akhir-akhir ini.[1] Adanya pemaduan antar tasawuf dan filsafat dalam ajaran tasawuf ini dengan sendirinya telah membuat ajaran-ajaran tasawuf jenis ini bercampur dengan sejumlah ajaran filsafat di luar Islam, seperti yunani, persia, india, dan agama Nashari. Akan tetapi, orisianiltasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang. Sebab, meskipun mempunya latar belakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda dan beragam, seiring dengan ekspansi Islam, yang telah meluas pada waktu itu, para tokohnya tetap berusaham menjaga kemandirian ajaran aliran mereka, terutama bila dikaitkan dengan kedudukannya sebagai umat Islam. Sikap ini dengan sendirinya dapat menjelaskan kepada kita mengapa para tokoh tasawuf jenis ini begitu gigih mempromosikan ajaran-ajaran filsafat yang berasal dari luar Islam tersebut ke dalam tasawuf mereka, serta menggunakan terminologi-terminologi filsafat, tetapi maknanya telah disesuaikan dengan ajran tasawuf yang mereka anut.
Masih menurut at-taftazani, ciri umum tasawuf falsafi adalah ajarannya yang samar-samar akibat banyaknya istilah khusus yang hanya dapat dipahami oleh siapa saja yang memahami ajaran tasawuf jenis ini.[2] Tasawuf falsafi tidak dapat di pandang sebagai filsafat karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq) tetapi tidak dapat pula di kategorikan sebagai tasawuf dalam pengertiannya yang murni, karena ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa filsafat dan lebih berorientasi pada panteisme.[3]
Para sufi yang juga filosof pendiri aliran tasawuf ini mengenal dengan baik filsafat yunani serta berbagai aliran seperti socrates, plato, aristoteles, dan aliran neo-platonisme, dengan filsafatnya tentang emanasi. Bahkan, mereka pun cukup akbar dengan filsafat yang sering kali disebut hermenetisme yang karya-karyanya banyak di terjemahkan ke dalam bahasa arab dan filsafat-filsafat timur kuno, baik dari Persia maupun India, serta filsafat-filsafat islam, seperti yang diajarkan oleh Al-farabi dan ibn sina. Mereka pun dipengaruhi aliran batiniah sekte isma'iliyyah aliran syi’ah dan risalah-risalah ikhwan ash-shafa’.
Tasawuf falsafi memiliki objek tersendiri yang berbeda dengan tasauf sunni. Dalam hal ini, ibnu khaldun, sebagaimana yang dikutip oleh at-taftazani, dalam karyanya al-muqaddimah menyimpulkan bahwa ada emapat objek utama yang menjadi perhatian para sufi filosof, antara lain sebagi berikut.
Pertama, latihan rohaniah dengan rasa, instusi serta intropeksi diri yang timbul darinya. Mengenai latihan rohaniah dengan tahapan (maqam) maupun keadaan (hal) rohaniah serta rasa (dzauq) para sufi filosof cenderung sependapat dengan para sufi sunni, sebab, masalah tersebut, menurut ibnu khaldun, merupakan sesuatu yang tidak dapat di tolak oleh siapapun.
Kedua, iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam gaib, seperti sifat-sifat rabbani, ‘arsy, kursi, malaikat, wahyu, kenabian, roh, hakikat realitas segala yang wujud, yang gaib maupun yang tampak, dan susunan kosmos, terutama tentang penciptanya. Serta pencipatannya. Mengenai ilminasi ini, para sufi yang juga filosof tersebut melakukan latihan rohaniah dengan mematikan kekuatan syahwat serta menggairahkan roh dengna jalan menggiatkan dzikir. Dengan dzikir, menurut mereka, jiwa dapat memahami hakikat realitas-realitas.
Ketiga, peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos yang berpengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan.
Keempat, penciptaan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar (syathayyat) yang dalam hal ini telah melahirkan reaksi masyarakat berupa mengingkarinya, menyetujui, ataupun menginterprestasikannya dengan interprestasi yang berbeda-beda.[4]
Selain karakteristik umu di atas, tasawuf filosofis mempunyai beberapa karakteristik secara khusu di antaranya:
Pertama: tasawuf filosofi banyak mengonsepsikan pemahaman ajaran-ajarannya dengan menggabungkan antara pemikiran rasional-filosfis dan perasaan (dzauq). Meskipun demikian, tasawuf jenis ini juga sering mendasarkan pemikirannya dengan mengambil sumber-sumber naqliyah, tetapi dengan interprestasi dan ungkapan yang samar-samar sulit di pahami orang lain. Kalaupun dapat diinterprestsikan orang lain, interprestasi itu cenderung kurang tepat dan lebih bersifat subjektif.
Kedua seperti halnya tasawuf jenis lain, tasawuf filosofis didasakan pada latihan-latihan rohaniah (riyadhah) yang di maksudkan sebagai peningkatan moral, yakni untuk mencapai kebahagiaan.
Ketiga tasawuf filosofi memandang iluminasi sebagi metode untuk mengetahui berbagai hakikat realitas, yang menurut penganutnya bisa dicapai dengan fana.
Keempat, para penganut tasawuf filosofi ini selalu menyamarkan ungkapan-ungkapan tentang hakikat realitas-realitas dengan berbagai simbol atau terminologi.
Perlu di catat, dalam beberapa segi, para sufi-filosof ini melebihi para sufi sunni. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, mereka adalah para teoritisi yang baik tentang wujud, sebagaimana terlihat dalam karya-karya merek. Kedua kelihaian mereka menggunakan simbo-simbol sehingga ajarannya tidak begitu saja dapat di pahami orang lain di luar mereka. Ketiga, kesiapan mereka yang sungguh-sungguh terhadap diri sendiri ataupun ilmumuya.



2.2.Tokoh-Tokoh Tasawuf Falsafi
1. Ibn Arabi
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Abdullah al-Tha’i al-Haitami. Ia lahir di Murcia, Andalusia tenggara, Spanyol, tahun 560 H, dari keluarga berpangkat, hartawan, dan ilmuwan.
 Ajaran sentral Ibn Arabi adalah tentang wahdah al-wujud ( kesatuan wujud). Menurut Ibn Arabi, wujud semua yang ada ini hanyalah satu dan pada hakikatnya wujud makhluk adalah wujud khalik pula. Tidak ada perbedaan antara keduannya (khalik dan makhluk) dari segi hakikat. Kalau pun ada yang mengira adanya perbedaan wujud khalik dan makhluk, hal itu dilihat dari sudut pandang panca indera lahir dan akal yang terbatas kemampuannya dalam menangkap hakikat apa yang ada pada Dzat-nya dari kesatuan Dzatiyah, yang segala sesuatu berhimpun pada –Nya. Menurut Ibn Arabi, manusia tidak memandangnya dari sisi yang satu, tetapi memandang keduanya bahwa keduanya adalah khalik dari sisi yang satu dan makhluk dari sisi yang lain. Jika mereka memandang keduanya dari sisi yang satu, atau keduanya adalah dua sisi untuk hakikat yang satu, mereka pasti mengetahui hakikat keduanya, yakni dzatnya satu yang tidak terbilang dan terpisah.

2. Al-Jilli
Nama lengkapnya adalkah Abdul Karim bin Ibrahim al-Jilli. Ia lahir pada tahun 1365 M di Jilan (Gilan), sebuah propinsi di sebelah selatan Kasfia dan wafat pada tahun1417 M. Nama al-Jilli diambil dari tempat kelahirannya di Gilan. Ia adalah seorang sufi yang terkenal dari Baghdad.
Ajaran tasawuf al-Jilli yang terpenting adalh paham Insan Kamil (manusia sempurna). Menurut al-Jilli, insan kamil adalah nuskhah atau copy  Tuhan. Insan kamil, ia tidak dapat melihatnya dirinya, kecuali dengan cermin nama tuhan, sebagaimana Tuhan tidak dapat melihat diri-Nya, kecuali melalui cermin insan kamil.



3. Ibn Masarrah
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abdullah bin Masarrah (269-319 H). Ia salah seorang sufi sekaligus filsuf dari Andalusia. Di antara ajaran-ajaran Ibn Masarrah adalah sebagai berikut:
a. Jalan menuju keselamatan adalah menyucikan jiwa, zuhud, dan mahabbah yang merupakan asal dari semua kejadian.
b. Dengan penakwilan ala Philun atau aliran Isma’iliyyah terhadap ayat-ayat al-Qur’an, Ibn Masarrah menolak adanya kebangkitan jasmani.
c. Siksa neraka bukanlah dalam bentuk yang hakikat.

4. Ibn Sa’in 
 Nama lengkapnya adalah Abd al-Haq ibn Ibrahim ibn Nashr al-Akki al-Mursi, seorang sufi filosofis peripatetik Andalusia. Ia lebih dikenal dengan Ibn Sab’in dan terkadang Quthb al-Din atau abu Muhammad. Ia lahir pada tahun 1217M/614H. Di Valle de Ricote, Murcia, Andalusia.
Ibn Sab’in dikatakan telah menulis sebanyak 41 buku, tetapi kebanyakan darinya tidak diketahui keberadaannya. Di antara kitab-kitabnya yang dapat ditemukan adalah Budd al-‘arif, Al-Kalam ‘ala al-Masail al-Shaqliyah, Risalah al-Nashihah atau al-Nuriyah, Abd. Ibn Sab’m, Al- Risalah al-Faqiriyah, Rasail Ibn Sab’in, Jawab Shahih Shiqiliyah.
 Ibn Sab’in mengatakan bahwa jika seseorang melihat kepada jagad raya dan apa yang berada di bawahnya dari manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan, kemudian ia memisah-misah dan membagi-bagiya,menyusun dan menyambungkannya, maka ketika ia kembali kepada dirinya, ia akan mendapatkan di dalam dirinya apa-apa yang ada didalam jagad raya dan apa-apa yang berada di bawahnya dengan bentuk yang lebih indah dan lembut. Karena ia melihat dirinya seperti sebuah contoh dari alam ini. Dan sesungguhnya keseluruhan atau kesatuan itu merupakan emanasi dari yang satu. Ibn Sab’in menyebut kesatuan tersebut dengan al-Ihathah yang maksutnya bahwa wujud secara keseluruhan adalah satu kesatuan. Menurutnya bahwa wujud berdasarkan jenisnya terbagi tiga:
 1. Wujud muthlak,yaitu Allah sendiri.
2. Wujud muqayyad, yaitu suatu wujud zat yang bergantung kepada wujud lainnya. Wujud alam bukanlah wujud yang sebenarnya namun pada hakikatnya adalah wujud dari wujud yang pertama.
 3. Wujud muqqadar, yaitu segala peristiwa yang akan terjadi di massa akan datang.
    Menurut Hamka, Ibn Sab’in telah banyak dipengaruhi oleh filsafat asing sehingga tasawuf tidak lagi semata-mata dikembalikan kepada sumbernya yang asli yaitu al Qur’an dan al-Sunnah.

2.3.Konsep Wihdatul Al-Wujud
Wihdatul al-wujud adalah aakidah yang menyakini adanya dua wujud yang terpisah satu sama lain.Akidah ini menuai banyak sekali pertentangan dari para ulama besar,diantaaranya adalah imam al ghozali dan ibnu taimiyah.Akidah ini dianggap menyimpang oleh para ulama.Apa yang diajarkan oleh akidah ini memiliki penyimpangan-penyimpangan dari akidah islam yang murni.
Penganut akidah ini mengakui adanya sang khaliq dan makhluk,yang berbeda dan terpisah satu sama lain dan berintegrasi menjadi satu,dan berunbah menjadi sebuah wujud tunggal.Akidah yang dibawa oleh para sufi ini dianggap aneh dan tidak sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya oleh sebagian besar umat muslim.Akidah yang seperti demikian lebih mengarah ke akidah agama lain yaitu kristen
Asy-Syihristani mengatakan,olongan olongan Ya’qubiah menduga Allah berubah menjadi daging dan darah karena proses ittihad.Sebagian besar mereka menduga bahwa Allah bersatu dengan makhluk dengan cara bercampur,seperti khamar bercampur dengan susu dan keduannya diaduk.Di antara mereka ada yang mengatakan,”Tuhan menampakkan diri dalam bentuk maakhluk.Jasad  Isa adalah penampakan Tuhan, Buakan dengan cara hulul atau proses bersatu, tetapi Isa berubah menjadi diri Tuhan”[5]
Dari uraian yang ada di atas jelas bahwa Ittihad dalam keyakinan mereka dibagi dalam dua kategori yaitu:
1.      Ittihad Khash(penyatuan khusus)
Artinya, tuhan dan makhluk bercaampur dan menyatu, seperti khamar bersatu dengan susu jika keduannya diaduk.Ini adalah keyakinan madzhab Ya’Qubiah dalam agama Kristen. Sebagian golongan yang keluar Islam juga mempunyai pandangan yang sama dengan golongan Ya’Qubiah ini.[6]
2.      Ittihad ‘Am (penyatuan umum)
Artinya, Tuhan itu adalah alam semesta itu sendiri. Pendapat ni dianut oleh golongan Mulhidin.[7]
Diantara kalangan sufi yang menganut paham ini adalah Abu Yazid Al-Busthami. Yang dimaksud dengan ittihad adalah menyatu dengan Allah.Bagaimana hal itu bisa terjadi? “seorang pecinta benar-benar menjadi satu dengan Dzat yang dicintainya, baik secara jasadiah ataupun pikiran (baca: bisa jasad yang menyatu; ataau hanya akal yang menyatu). Atau,menyatunya watak, kehendak, dan perbuatan keduanya.Dengan demikian, jika kitaa menunjuk salah satu diantaraa keduanya, tentu saja secara otomatis kita dianggap telah menunjuk yang lain.Kemudian penunjukan kitaa menjadi hilang,karena apa yang kita tunjuk telah hilang.[8]
Tidak ada seorangpun yang berpikiran sehat memgakui paham ini bersumber dari ajaran Islam,karenaa dapat kita telaah sendiri paham yang tersebut diatas sangat jelas bertentangan dengan ajarn Islam.Apabila ada orang Islam yang meyakini ajaran ini, berarti diaa belum pahaam betul akan ajaran Islam.atau,jika tidak pahaam ajaran Islam,ia termasuk orang-orang yang ingin merusak Islam dan peenganutnya.
Para ulama besar Islam juaga banyak menentang paaham ini.Dintaranya adalah al-ghozali da Ibnu Taimiyaah.Mereka berdua memiliki pandangan masing-masing mengenai penyimpangan yang ditimbulkan oleh akidah Ittihad.
Imam Al ghozali mengatakan, “Pandangan tentang menyatunya Sang khaliq dengan makhluk adalah pandangan yang sangat jelas kebathilannya.Karena klaim ‘hamba telah menjadi tuhan’ bertentangan dengan haakikat Allah sendiri. Bahkan, Tuhan harus mnsucikan dari sifat yang berlaku pada manusia,seperti hal-hal mustahil ini (yaitu Ittihad)”.[9]
Jika hal tersebut sangat jelas kebathilanya ,maka kita tidak membutuhkan lagi dalil lagi untuk menegaskan kebathilan akidah ittihad tersebut. Dipandang dari sisi manapun, kebhatilan yang ada  dalam akidah ittihad ini sangatlah jelas terlihat. Keyakinan seperti Ittihad inilah yang apabila ditelaah oleh orang awam atau orang yang pondasi agamannya masih lemah dapat menggoyahkan iman mereka bahkan ikut hhanyut dalam kebathilan tersebut.
Imam Al Ghozli menggunakan teori debat yang ang dikenal luas dikalangan pemikir muslim dalam menyaampaikan argumentasinya yang membongkar kesesatan mereka.Beliau memaparkaan kemungkinan-kemungkinan terjadinya ittihad, lalu membuktikan kemustahilannya. Imam Al ghozali keemudian menyimpulakan bahwa ittihad tidak bisa diterima oleh akal.Hal tersebut dikareenakan dua dzat yaang menyatu dihadapkan pada tiga kemungkinan:
a.       Keduanya benar-benar ada.
b.      Keduanya sama sekali tidak ada.
c.       Salah satu dzat ada, dan dzat yang lain tidak ada; aatau sebaliknya.
Setelah memaparkan tiga kemungkinan tersebut yang terjadi dalam ittihad. Kemudian Imam Al Ghozali membuktikan kemustahilan terjadinya masing-masing kemungkinnan tersebut.
·         Kemungkinan pertama berarti: setiap dzat berdiri independen, dalam artian tidak menjadi  bagian dari yang lain. Dengan demikian, tidak ada  kasus menyatu.
·         Kemungkinan kedua: jika keduanya sam-sam tidak ada, maka proses menyatu menjadi tidak ada juga.Bagaiman sesuatu yang tidak ada bisa meengalami peenyatuan.Penyatuan antara dua hal yang tidak ada adalah suatu hal yang mustahil.
·         Kemungkinan ketiga: salah satu dzat tidak ada , dan dzat yang lainnya ada. Ini adalah pandangan keliru.Di sini, Al-Ghozali menggunakan logika akal, karena dia sangat piawai dalam berpikir logis.Dia mengatakan, “Bagaimana terjadi proses penyatuan antara sesuatu yang ada dengan sesuatu yang tidak ada? Dengan demikian , pandangan tentang ittihad adalah salah.[10]
Selain Imam Al-Ghozali ulama lain yang mengatakan ittihad adalah sesat dan rusak adalah Ibnu Taaimiyah. Ibnu Taimiyah memandang mereka sebagai kaum yang lebih sesaat dari yahudi dan kristen. Ia mengatakan demikian karena didasari oleh dua sebab:
Pertama, penganut paham ittihad itu meengatkan, “Allah itu menyatu dengan hamba yang Dia dekatkan dan pilih. “ Sementara orang yahudi dan Nasrani menatakan, “Tuhan tetaplah tuhan, dan dzatt selain Dia bukanlah Dia.”
Kedua, orang-orang Nasrani mengatakan bahwa hanya orang yang mereka agungkan yang bisa menyatu dengan Allah,seperti Al-Masih.Namun para penganut Ittihad menganggap Allah berjalan dengan anjing, babi, dan kotoran. Jika Allah Ta’ala mengatakan tentang orang Nasharani,[11] “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putera Maryam.” (Al-Maidah:17)
Lalu bagaimanakah dengan orang yang mengatakan, “Sesungguhnya Allah itu adalah orang kafir, munafik, anak-anak, najis, atau setiap sesuatu yang lain?”[12].Atas dasar ayat di atas, akidah wihdatul al wujud atau akidah ittihad jelas sekali kebhatilannya.Hal tersebut dikarenakan akidah ittihad ini meyakini penyatuan Allah dengan hambaNya, jels sudah apabila ada seseorang meyakini akidah tersebut,maka  mereka meyakini bahwa Allah itu adalah makhluk, begitu juga sebaliknya makhluk itu adalah dzat Allah.Sangat jelas bahwa ini adalah bentuk kekafiran yang jauh lebih besar daripad yang diyakini oleh umat nasharani.
Orang-orang yang meyakini wihdtul al wujud ini memiliki anggapan bahwa Allah itu Makhluk dan Makhluk itu adalah Allah.Ini berarti orang yang meyakini akidah ini menganggap bahwa Allah itu bisa sakit, karena setiap makhluk pasti pernah merasakan sakkit. Padahaal sifat sakit adalah mustahil bagi Allah. “Faktor apaka yang menyebabkan Allah menjadikan diriNya terbagi?” Apakah Dia tidak mampu berdiri sendir, sehingga Dia membutuhkan sesuatu yang selain Dirinya?”. Sebaliknya,sesesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”Membutuhkan” adalah sifat kurang, dan Allah maha suci dari sifat kurang.[13]
Hal-hal laain yang membuktikan kesalahan paham ittihad adalah:
·         Allah bersifat qadim (dahulu), sementara  makhluk memunyai sifat baru (hadist). Lantas, bagaiman dzat yang qadim menyatu dengan sesuatu yang baru?
·         Allah mempunyai kesempurnaan yang mutlak dan kesucian yang sempurna (dari sifat-ssifat kekurangan).Jadi sifat “menyatu” dengan dzat lain adalah mustahil dan imajinasi yang rusak.[14]
Berdasarkan kenyataan-kkenyataan ini, maka mustahil Allah menyatu dengan makluk.



















BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Dari uraian panjang diatas kita dapat mengambil suatu hikmah dan beberapa kesimpulan, diantaranya adalah:
Ø  Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional penggagasnya. Berbeda dengan tasawuf akhlawi, tasawuf falsafi menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya.
Ø  Empat objek tasawuf falsafi yang menjadi perhatian para sufi filosof adalah
o   Pertama, latihan rohaniah dengan rasa, instusi serta intropeksi diri yang timbul darinya.
o   Kedua, iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam gaib, seperti sifat-sifat rabbani, ‘arsy, kursi, malaikat, wahyu, kenabian, roh, hakikat realitas segala yang wujud, yang gaib maupun yang tampak, dan susunan kosmos, terutama tentang penciptanya.
o   Ketiga, peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos yang berpengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan.
o   Keempat, penciptaan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar (syathayyat) yang dalam hal ini telah melahirkan reaksi masyarakat berupa mengingkarinya, menyetujui, ataupun menginterprestasikannya dengan interprestasi yang berbeda-beda
Ø  tokoh-tokoh tasawuf falsafi adalah Ibn Arabi, Al Jilli, Ibn Massarah,Ibn Sa’in
Ø  konsep wihdatul al wujud dibedakan menjadi dua yaitu:
o   Ittihad Khash(penyatuan khusus).Artinya, tuhan dan makhluk bercaampur dan menyatu, seperti khamar bersatu dengan susu jika keduannya diaduk.Ini adalah keyakinan madzhab Ya’Qubiah dalam agama Kristen.
o   Ittihad ‘Am (penyatuan umum).Artinya, Tuhan itu adalah alam semesta itu sendiri. Pendapat ni dianut oleh golongan Mulhidin.


Daftar Pustaka
Abu Al-Wafa’ Al-ghanimi At-Taftazani,Sufi dari Zaman Ke Zaman,Terj.Ahmad far’i ustman,Bandung:Pustaka Bandung,1985
Ahmad,Abdul Fattah Sayyid,Tasawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah,Terj.Muhammad Muchson Anasy,Jakarta:Khalifa,2005
Toriqoudin,Mohammad,Sekularitas Tasawuf,Malang:UIN Malang,2008


[1] Abu Al-Wafa’ Al-ghanimi At-Taftazani,Sufi dari Zaman Ke Zaman,Terj.Ahmad far’i ustman,Pustaka Bandung,1985,hlm,187
[2] Ibid
[3] Abu Al-Wafa’ Al-ghanimi At-Taftazani,Sufi dari Zaman Ke Zaman,Terj.Ahmad far’i ustman,Pustaka Bandung,1985,hlm,187

[4] Abu Al-Wafa’ Al-ghanimi At-Taftazani,Sufi dari Zaman Ke Zaman,Terj.Ahmad far’i ustman,Pustaka Bandung,1985,hlm,187

[5] Ahmad,Abdul Fattah Sayyid,Tasawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah(Jakarta:Khalifa,2005)213
[6] Ahmad,Abdul Fattah Sayyid,Tasawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah(Jakarta:Khalifa,2005)213
[7] Ibid,214
[8] ibid
[9] ibid
[10] Ahmad,Abdul Fattah Sayyid,Tasawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah(Jakarta:Khalifa,2005)215
[11] Ahmad,Abdul Fattah Sayyid,Tasawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah(Jakarta:Khalifa,2005)350
[12] Ibid
[13] Ibid,hlm 351
[14] Ahmad,Abdul Fattah Sayyid,Tasawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah(Jakarta:Khalifa,2005)351

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Recent

Comments

Side Ads

Text Widget

Connect Us

item